MADRASAH KEHIDUPAN


IBU YANG PERTAMA MENGENALKAN CINTA DAN KASIH SAYANG, IBU YANG PERTAMA MENGAJARKAN TENTANG KEBENARAN, IBU YANG MEMBERI WARNA KEHIDUPAN, IBU MADRASAH PERTAMA KEHIDUPAN

Senin, 03 Mei 2021

RAHASIAHATI SYAFIA 29




" Ukhti Ana, terimakasih. Kau ajarkan aku ketangguhan seorang muslimah" Kata Syafia. 

" Ukhtii Fia, keikhlasan itu adalah sebuah perjuangan tak seorangpun wanita yang rela tiba-tiba dia harus berbagi suami dengan wanita lain. Tetapi sebagai istri yang taat, demi untuk menghapus ridho Allah  saya tidak bisa melarang ustadz Hamid untuk menikah lagi, karena ustadz Hamid diberi hal oleh Allah untuk menikah lebih dari satu" Jawab ukhti Ana panjang lebar. Jawaban yang justru menjadikan hati Syafia berontak, apakah seperti itu cara Rasul berpoligami?! Menggoreskan rasa sakit dihati para istri?! 

Sebagaimana hikayat yang pernah dibacanya, Rasulullah bahkan melakukan poligami setelah Khadijah meninggal dunia, yang berarti Rasulullah menjalankan pernikahan monogami selama 25 tahun bersama Rasulullah. Rasul menikahi Aisyah setelah beberapa waktu beliau menduda. Ketika Aisyah dinikahi Nabi Muhammad saw, usia Aisyah masih sangat muda bahkan sebagian riwayat menyebut saat itu Aisyah masih berusia 7 tahun, maka saat itu Rasul hanya meng khitbah saja, dan mulai hidup bersama di usia 20 tahun, bahkan ada riwayat yang menyebutkan di usia 19 atau 20 tahun.

Alasan Rasulullah saw menikahi Aisyah bukan karena nafsu, melainkan karena petunjuk dan perintah dari Allah.Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw berkata kepada Aisyah, "Aku melihat engkau (Aisyah ) dalam mimpi sebanyak dua kali. Aku melihat engkau berada dalam bilik yang diperbuat daripada kain sutera. Ada suara berkata, 'Inilah istrimu.' Kemudian aku menyingkap tirai muka itu dan terlihat jelas wajahmu.' Maka aku katakan, "Sesungguhnya kejadian ini adalah atas kehendak Allah Swt." (HR. Bukhari).

Sedangkan istti-istri Rasul yang lain, adalah janda ynag ysianya lebih tua. Alasan Rasulullah menikhai mereka diantaranya karena menolong, dan juga karena faktor politik untukenyatukan suku-suku yang kala itu terpecah. Rasulullah menjalani hidup berpoligami hanya selama 12 tahun, lebih singkat dibnding pernikahan monogami nya dengan Khadijah yang dihalaninya selama 25 tahun. 

Kembali Syafia bertanya dalam hati, 

"Apa yang menjadi motivasi ustadz Hamid meninang diriku? Apakah beliau ingin menolongku?! Tanya Syafia dalam hati. 

" Layakkah jika niat tulus ustadz Hamid ditolak begitu saja? " Syafia nampak galau kembali, ustadz Hamid adalah seorang ustadz yang berpengethuan luas, hanif dan taat dalam beribadah, beliau mampu dan pasti dapat berbuat adil, alasan apa yang dapat di sampaikan Syafia untuk menolak pinangan sng Ustadz? Tidak mungkin juga dia menggunakan alasan tidak tega atau kasihan kepada Ana sang murobbi, karena Ana sendiri telah menyatakan ikhlas dan bahkan membujuknya Syafia untuk tidak menolak pinangannya untuk suaminya. 

Dirr setiap manusia berbeda dan tak seorangpun tahu apa yang akan terjadi di hadapan, bahkan satu detik ke depannya. Hanya Allah yang  Maha Tahu. Begitupun ketika hati memilih siapa yang disukainya, tak bisa kita rencanakan karena berlangsung begitu saja. Yang mampu kita lakukan, hanya mengendalikan dengan kekuatan iman. Dan rasa itu yang tidak Syafia ketemukan di dalam hatinya, dia lebih takut meninggalkan adiknya kesepian andai dia harus menikah. 

" Maaf ukhti... Dengan sngat menyesal dan berat hati saya tidak dapat menerima pinangan ukhti... Saya merasa tidak pantas menjadi adik ukhti dan bersama mendampingi ustadz Hamid dalam dakwahnya... Sungguh saya mohon maaf ukhti" Akhirnya Syafia mengambil keputusan tidak menerima pinangan Ana untuk suaminya. 

Ada setitik binar bahagia di pupil mata Ana, dan Syafia menangkap itu. 

" Baiklah ukhti... Kalau itu memang ukhti anggap itu  yang terbaik... InsyaAllah ustadz Hamid akan menerima ini, dan kami berjanji tidak akan pernah meninggalkan ukhti Dia dan Syifa, kalian sudah bagaikan keluarga kami.. " Ana nampak sangat bijak menghibur dan menguatkan Syafia. ___________

Hri, minggu, bulan pun berlalu, tidak ada yang berubah pada diri Syafia. Syafia tetap bekerja di Ar Rahmah Boarding School, dia tetap tinggal di sana bersama adiknya Syifa. 

Ustadz Hamid seorang ustadz yang sangat bijak dn bersahaja, tidak ada perubahan sikap sama sekali terhadp Syifa, setelah semuanya terjadi. Tetap saja beliau ramah dan hormat kepada siapapun yang berpapasan, atau dekat dengannya. 

Lain halnya dengan Andi, Andi semakin sering berkirim pesan kepada Syafia, entah berupa pena dksh atau apa. Andi sudah mulai berani mengungkap masa lalu mereka, dan Syafia tidak dapat menolaknya. Bagaimanapun hatinya menuntut balas atas rindu dn cinta yang dipendamnya selama ini, meski akalnya menolak keras karena Andi telah berkeluarga. Dan ujian hati Syafia belumlah selesai. Lbalinlagi Syafia dihadapkan pada ujian istri kedua, namun kali ini Syafia merasakan bergulatan yang teramat keras antara hati dan akalnya. Hatinya menuntut berkata "Iya" Namun akalnya menolak keras. Kadang Syafia merasa bersalah ketika dia larut dalam chatting dengan Andi, kadang berdiskusi atau bergurau, karena memang pada dasarnya mereka sudah sling cocok sejak lama. 

Pada suatu kesempatan Andi ingin menyampaikan niatny untuk menjadikan Syafia istri kedua, namun selalu Syg ia tolak dengan berbagi macam logika. 

“ukhti, di dalam agama kita polgyami itu dibolehkan itu satu hal. Hal lain, sejak aku ketemukan  kamu ada rasa lain yang muncul dalam perasaan Abang dan rasa itu akan lebih indah jika berada dalam bingkai yang halal. Abang ingin kamu membantu Abang agar rasa ini menjadi halal.” Kalimat-kalimat itu meluncur dengan pasti tanpa keraguan dalam suatu kesempatan lewat telephon. 

Ya Allah, ujian apa lagi yang sedang Engkau hadirkan untukku ?  Seorang lelaki yang selama ini aku nanti, kau hadirkan dalam keadaan sudah beristri,  tiba-tiba dia mengajukan diri jadi pendampingku? Mengapa kau terlambat datang mas? Kenapa kau tidak setia menungguku atau mencariku kala itu? Syafia mengajak hati berdialong dengan akal Pemiliknya. 

Dan kembali Syafia menjawab, “Engga Bang, Maaf ya... Aku tidak akan mampu menyakiti hati istrimu …”. Syafia terus terang. 

Tapi kemudian dia menjadi sering menelfon walaupun hanya sekedar menanyakan perihal kabar dan pekerjaanku.  Tanpa disadarinya, otak dan hati Syafia kompak menyatakan, “Aku suka diperhatikan, aku merasa hidupku lebih berarti.” Suatu perubahan terjadi di diri Syafia. Hatinya menjadi berbunga ketika nama Andi tertera di layar telpon selular nya. Begitupun sebaliknya, Syafia mendadak kehilangan ketika dalam dua hari saja Andi  tidak menelfon. Oh ada apa ini ? Apa yang terjadi dengan rasaku ? Oh tidaaaaaak…. Rasa cinta itu kembali datang dan mulai merindukannya!


Marah, gusar, kecewa kepada diri sendiri campur aduk jadi satu! Kemana prinsip yang selama ini aku pegang ? Mana daftar blacklistku ? Mana ketegaran dan ketegasan yang aku punya? Berontak hati Syafia. Aku tak mampu lagi abaikan rasa cintaku. No.. no.. no…! Berkali-kali batinnya berteriak  No, berkali-kali pula hatinya menangis mengisyaratkan “tak rela”. Tidak hanya sekedar merasa serba salah tapi juga merasa sangat bersalah walaupun Andi tak pernah lagi membahas tentang masa lalu mereka atau niatnya hidup dengannya.

Namun, Syafia justru makin gesisah, mengapa Andi mulai jarang kembali mengirim pesan?" Kembali menyerukan rasa rindu akan kehadirannya dalam hati Syafia. Syafia mulai menyerah jukalau dulu setiap kali Andi bertanya Syafia sekuatnya berasaha bilang "tidak", sepertinya sekarang hatinya mulai gelisah, “Kenapa dia berkirim kabar lagi?”. 

Di suatu malam badan Isya' akhirnya gawat Syagia bergetar menari di atas meja rias kamar po doknya, begegas dia angkat dan berharap yang berada diseberang sana yng sedang memanggilnya adalah Andi. Benar saja, Syafia bahagia bagaikan disiram air dingin ditengah padang gersang, rindunya teribati. Batin Syagia tak banyak lagi berontak, rindunya telah melemahkan kekuatan prinsip yang coba dia pertahankan sejauh ini. Rasa cintanya telah memunculkan ego dn menggerua rasa empati pada hati wanita lain disana yng mungkin akan menangis jika mengetahui ini, Syafia kini telah menyerah.

Setelah berbincang-bincang jarak jauh mengenai kabar dan pekerjaan masing-masing, pertanyaan itu akhirnya  dengar lagi Syagia kembali , tiba-tiba Andi menyampaikan kalimat yang menggegrkan hati dan jantung Syafia, kalimat yang dinnatinya sngat panjang dan kini diungkapkan oleh Andi. 

“Boleh kita ta’aruf dulu? Kemudian kita istikharah dan kita pasrahkan pada rencana Allah.” Entah keberanian dari mana, Syafia pun menjawab, “Baiklah. Tapi aku punya satu syarat. Aku akan bilang Iya, aku bersedia menjadi isteri Abang hanya jika Kakak (begitu aku memanggil isterinya) yang memintaku menjadi “adik”nya dan Abang tidak boleh memaksanya" Kata Syafia berharap istri Andi seteguh Ana yang melahirkan istri kedua untuk suamunya. 

Syafia berharap jika takdir mengharuskannya  berpoligami, maka keikhlasan isteri terdahulu menjadi syarat mutlak "Oh Rabb, sungguh aku tak pernah membayangkan ini akan terjadi dalam hidupku" Kata hatinya. 

Hari-hari Syafia kembali dipenuh kebimbangan. Batinnya sebenarnya tetap menolak tapi dia sudah tidak nerdaya dan tidak memiliki alasan kuat lagi untuk mengatakan "tidak". Dia berniat ta’aruf dan niatnya sungguh-sungguh. Kalau hanya menimbang perasaan suka, mungkin aku bisa langsung berkata YA AKU BERSEDIA karena Syafia sebenarnya telah lama memendam perasaan ini, dan dia telah memiliki hati Andi sejak lama sebelum dia bertemu dengan istrinya. Demikian juga  dari buku-buku tentang poligami yang pernah dia baca, suami tidak diharuskan minta izin kepada isteri terdahulu. Perasaan cinta yang telah menyiksanya sekian tahun kini tengah menyerangku! Mending dihalalkan toh ?? Kata hati Syafia pasti. 

siang itu - di hari yang fitri telphon Syafia berdering. Bismillaah … apapun jawabannya Syafia siap. Syafia biarkan Andi berbicara menyampaikan apa yang ingin dia dengarkan. Dia bilang, “ukhti, Abang sudah bicara dengan Kakak dan ternyata Kakak belum siap. Jadi, bagaimana keputusanmu ?” kata Andi lirih di seberang sana. 

Dengan perasaan campur baur; sedih, senang, kesal, kecewa, marah… Syafia berusaha menetralisir kegetiran suaranya. Rasa gengsinya menghapus segala rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Tanpa ragu, jawabannya terdengar begitu tegas buat dirinya sendiri, “Sesuai dengan komitmen awal kita bang. Jawabannya sudah jelas. Kakak tidak bersedia dan aku tidak mungkin bahagia di balik kesedihannya. Maka, TIDAK adalah jawabanku untuk selamanya.” Hati Syafia ingin menjerit menyuarakan sakitnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba hilang begitu saja. Syafia kembali merasa terhempas ke titik nol, entah kemudian dia bisa bangkit kembali atau tidak. Patah hati… Ya, itu kata yang yang cocok untuk menggambarkan perasaannya saat itu. Jawabannya sudah pasti dan  takkan pernah mungkin dia menariknya kembali. Kalaupun saat ini dia harus menangis, dia menangis  hanya untuk menguatkan hati. Akhir dari cinta dan rindu yang menghiasi hari dan mewarnai perjalanan hidupnya, telah nyata. Tak ada lagi cinta yang menguras rasa, tak ada lagi rindu yang menyesakkan kalbu. Harusnya Syafia lega telah terbebas dari semua rasa yang telah membelenggu nya, namun ternyata hatinya terluka dalam dan sangat dalam. 

Syafia semakin faham, bahwa cinta bukan semata masalah perasaan tapi hasil dialog antara akal dan hati. Dua instrumen yang khusus diberikan Allah hanya kepada manusia.
Bahwa kebahagiaan itu adalah ketika kita mampu berkorban untuk orang yang di cintai, demi keutuhan rumah tangganya, SyFia bersedia mengalah. Dan dia yakin ini adalah bagian dari cerita yang telah ditulisNya untuk dirinya. 

Lalu kenapa dia harus Engkau datangkan ?! Kalau kemudian dia harus pergi? 

NEXT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar