MADRASAH KEHIDUPAN


IBU YANG PERTAMA MENGENALKAN CINTA DAN KASIH SAYANG, IBU YANG PERTAMA MENGAJARKAN TENTANG KEBENARAN, IBU YANG MEMBERI WARNA KEHIDUPAN, IBU MADRASAH PERTAMA KEHIDUPAN

Kamis, 14 Februari 2019

Butterfly 6



MESTINYA DIA MASIH DISINI

         Aku tertegun menatap nisan itu, sudah kelihatan sangat usang, berlumut  dan sangat tidak terawat, bahkan rumput liar telah hampir menenggelamkan pusaranya.
“Tidak pernah ada yang berkunjung ke makam ini “ kata hatiku
        Kucoba sibakkan rambatan rumput liar yang telah mencekeramkan akarnya dengan erat ke tanah merah makam ini. Tak kurasakan keringatku menderas mengalir disela sela dahiku, kuingin mengenang kembali murid kesayanganku masa tiga tahun lalu.
        Dia cantik secantik namanya Yanti Eka Mutiara nama yang sungguh indah, dengan matanya yang berbinar setiap saat berbicara dan ketawanya yang lepas  menampakkan gigi gingsulnya yang menambah kecantikan rupanya, menjadikannya siswa yang banyak disukai teman-teman dan gurunya.  Dia siswa yang paling reseh jika ada satu bahasan saja yang tidak dia kuasai atau satu cara menyelesaikan soal matematika yang saya ajarkan yang dia tidak mengerti, pasti dia akan mengejarku sampai ke rumah meskipun malam atau hujan dia tidak peduli, itu menjadikan dia istemewa di mata kami guru-gurunya. Perjuangannya untuk menjadi yang terbaik, dan semangat belajarnya yang tinggi menjadikan dia tidak pernah tergeser dari peringkat 3 besar dikelasnya.
“ Bu Umaaaa …. “ masih terngiang dia sering berteriak hanya untuk menyapaku walau dia berada jauh diseberang lapangan  olah raga, setiap melihat sosokku. Dan selalu aku jawab dengan lambaian tangan dan cium jauhku, begitupun dia sudah tampak merasa senang dan bahagia.
         Tak terasa kenangan ini telah menjadikan airmataku menetes deras membasahi pipiku, teringat diawal sakitnya, dia datang mengeluh sangat menyesal suatu saat ketika dia tidak dapat mengerjakan  PR nya dengan sempurna.
“ Bu uma … kenapa ya bu akhir-akhir ini kepalaku sering pusing, aku tidak bisa mengerjakan tugas ibu dengan baik … mohon maaf ya bu, setiap aku coba berfikir rasa kepalaku panas dan seakan mau pecah, pusing sekali … “  begitu keluhnya saat itu dengan raut mukanya yang menampakkan kesedihan.
“ kalo merasa demikian, ya istirahat saja dulu, buat tiduran mungkin setelahnya akan lebih baik, baru dilanjutkan belajarnya …” jawabku mencoba memberi solusi.
          Minggu berikutnya, ketika tiba waktu aku harus mengajar dikelasnya tak kudapati Tiara ditempat duduknya.
“Kemana Tiara kok belum masuk kelas ?” tanyaku sedikit heran, karena tidak biasa dia tidak ada dikelas saat pelajaranku  berlangsung, karena dia paling menyukai pelajaran matematika.
“ Tiara sakit bu, sudah tiga hari tidak masuk “ jawab teman sebangkunya.
“ Thipusnya kambuh lagi  … ? sela yang lain.
“ kalian sudah menjenguknya ?  tanyaku sedikit hawatir Tiara sakit serius karena keluhannya minggu lalu. Sebenarnya kami sudah sangat terbiasa dengan kondisi Tiara ijin tidak masuk sekolah karena sakit,  hampir setiap bulan dia harus cuti belajar minimal 3 hari untuk berobat karena sakit tiphusnya yang berulang kali kambuh.
        Dua minggu berlalu ternyata Tiara belum juga masuk sekolah, aku coba menanyakan pada wali kelas dan guru BK tentang keberadaan Tiara dan sakitnya. Mereka membenarkan bahwa Tiara siswa cantikku nan lincah ini telah dua minggu sakit, orang tuanya tidak bisa menjelaskan sakitnya apa, kecuali kata dokter terjadi peradangan di otaknya,  jawaban dari keluhan kepalanya yang selalu terasa pusing dan badannya yang juga sering lemas, keluhnya suatu waktu kepadaku.
         Tiba-tiba kehawatiranku semakin bertambah dan muncul dugaan yang tidak-tidak dibenakku mengenai sakitnya Tiara, “ apakah dia terkena kangker otak? aku harus segera menjenguk ke rumahnya” janji hatiku.
        Sudah aku rencanakan hari jumat minggu berikutnya aku akan mengunjungi Tiara ke rumahnya, sudah tiga minggu dia tidak sekolah. Ternyata rumahnya cukup jauh juga dari sekolah, sekitar berjarak  1,5 km dari sekolah tidaklah dekat jika ditempuh dengan jalan kaki, sementara       Tiara selalu datang ke sekolah dengan berjalan kaki. Subhanallah, dan aku baru menyadari bahwa siswi terbaikku ini adalah seorang pejuang sejati. Meskipun demikian aku tidak pernah melihat raut lelah mukanya, saat-saat dia masih sehat maupun sudah sering sakit mulai beberapa bulan yang lalu.
        Aku tertegun berdiri didepan rumah  berdinding papan yang tampak sudah berlubang disana sini, dengan jendela yang tertutup rapat,  beralas tanah, berukuran yang masih lebih besar  ruang kelas tiara di sekolah. Rumah Tiara yang  luasnya hanya sekitar 5m x 10 m sungguh rumah yang jauh dari layak untuk di huni 5 orang, kedua orang tuanya bersama Tiara dan dua adiknya.
         Kutahan sedihku, sungguh aku tidak menduga gadis cantik, pandai nan periang itu dalam kehidupannya menyimpan beban kehidupan yang begitu berat. Namun dia sama sekali tidak tampak minder, ataupun merasa terbebani karena kemiskinan keluarganya. Dia selalu tampakkan senyum cerianya seakan tidak peduli dengan beban hidupnya. Tetapi ternyata Tuhan sangat sayang kepadanya, dia diuji dengan ujian kesehatannya pula.

Bersambung ....

Butterfly 5


Motivasi dokter Heri, dokter spesialis dalam yang merawatku pada setiap kunjungannya sungguh selalu bisa menyejukkan hatiku, seakan dia memang sudah faham betul tentang apa yang ada difikiran setiap pasiennya termasuk diriku.
 “ Sabar ibu … ini baru proses penyembuhan, nanti akan baik kalo pengobatannya berjalan dengan baik … sabar ya …” selalu itu yang dia sampaikan ketika aku mengeluhkan rasa sakitku yang masih kurasakan, dengan senyum khasnya menguatkan hati dan menambah semangatku.
Malam ini entah malam keberapa aku dirawat di rumah, tidak seperti hari biasanya suasana seakan lebih hening dari malam-malam sebelumnya, mungkin sebagian tetangga kamarku sudah pulang ?  Seperti biasanya aku merasa susah memulai tidurku, terbayang putri kecilku yang pastinya juga gelisah dan kesulitan memulai tidur malamnya tanpa ada didekapanku. Ku coba pejamkan mata dan halau semua pikiran yang menjadi beban di kepalaku.
Bibirku  tidak henti aku buat lafalkan dzikir, demikian pula suara indah bacaan  baca Al Qur’an dari hp tidak berhenti menghiasi  pendengaranku. Namun tetap saja aku risau dan sulit memejamkan mataku. Meskipun demikian, aku pura-pura sudah terlelap ketika ibu maupun suamiku  mencoba mengecek keadaanku.
Saat itu rasanya sudah larut karena  tidak lagi aku dengar suara dari luar ruanganku yang biasa terdengar berisik langka pengunjung rumah sakit atau penunggu pasien.Tiba-tiba aku dengar hp ku bergetar, tapi tetap saja tidak aku pedulikan, paling juga dari grup teman alumni yang biasanya memang masih rame sampai larut malam, pikirku.
“ Dik … sudah tidurkah “ Ku dengar suamiku berbisik di telingaku dan memegang lembut tanganku. Segera aku berbalik dan mendapati suamiku telah tepat berdiri di samping ranjangku.
“ iya ayah … sudah mulai mengantuk “
“ Kok whatsAppku tidak dibuka  …?
“ Loh … memangnya ayah kirim apa di whatapp malam-malam gini … ada apa ? tanyaku sedikit heran karena tidak biasa suamiku demikian.
“ Selamat Ulang Tahun sayang … semoga sehat dan panjang umur ya …“ ucapnya lirih sembari mencium keningku
Aku kaget bercampur haru, karena memang benar-benar  aku lupa malam itu malam ulang tahunku, dan justru aku malah pesimis suamiku ingat  dan akan memenuhi permintaanku.
Terasa ada tetesan air mata di keningku ….
“ suamiku menangis …” batinku.
“Kenapa ayah  … ?“  tanyaku sekuat tenaga menahan tangis haruku juga.
“ Adik sabar ya … aku dan anak-anak masih sangat membutuhkan adek … adek harus sabar dan patuhi semua nasehat dokter ya … aku ingin adek sembuh untuk aku dan anak-anak” kata suamiku terbata menahan perasaan yang sepertinya sudah tertahan lama. Aku tahu suamiku juga menyimpan kesedihan karena sakitku, meskipun aku sudah berusaha untuk sembunyikan setiap keluhanku.
“ Coba  saja buka whatsApp … ada hadiah untuk adek“ katanya setengah berbisik.
“ Bener ... hadiah apa kok di whatsApp “ jawabku menggoda.
“ yang kemarin adek minta … “ jawab suamiku sedikit tersipu.
“ bener bisa buat kata indah  untukku …? Jawabku menggoda, tak percaya karena suamiku tidaklah termasuk pria romantis yang bisa membuat kata-kata indah. Karena sepanjang kami pacaran sampai 20 tahun menikah tidak sebaitpun kata indah disusunnya untukku.
Segera aku ambil handphonku dan ku buka whatsApp dari suamiku … “video …?  Terbayang pasti video ucapan ulang tahun suamiku untukku, paling juga copas dr youtube atau WhatsApp group teman-taman alumninya, pikirku meremehkan.
“Ah … ternyata jaringannya buruk … ini video apa ? tanyaku tidak sabar
“ lihat saja sendiri nanti … semoga adek bahagia dan selalu semangat ya …” kembali dia mencium keningku dan beranjak pergi dariku karena ibuku sepertinya terbangun terusik dari tidurnya karena perbincangan kami.
Tidak sabar aku menunggu download video kiriman suamiku. Aku terkejut ternyata video sebuah lagu kesukaan kami “ Mutiara Hidup” nya bang haji Rhoma Irama yang diberi latar ucapan selamat ulang tahun dan kalimat indah dari suamiku, dipadu dengan gambar dan foto kami berdua. Indah sekali video ini, benar-benar seakan kami yang sedang ada di dalamnya, aku tidak percaya suamiku bisa membuat ini untukku. 
“ Hadiah yang istimewa …” gumamku
“ Trimakasih Ayah … benar nih hasil karya sendiri …? Tanyaku sedikit tidak percaya yang dijawabnya dengan tersenyum kecil, Ternyata suamiku lebih romantis dari sangkaanku selama ini.
Persembahan indah di hari ulang tahunku dari suamiku ini benar-benar menjadi sangat berharga bagiku dari apapun, di dalamnya nampak ilustrasi diriku yang digambarkan oleh seorang wanita berhijab hitam yang memandang lautan dengan gamang, itulah aku. Suamiku tau bahwa istrinya yang rapuh ini sedang gamang memandang lautan kehidupan didepannya, dipadu dengan alunan suara indah bang haji Rhoma Irama dengan lagu mutiara hidupnya, sungguh membuat aku tidak bisa menahan air mataku. Tidak kusangka suamiku dapat membuat kata-kata indah yang menjadi janjinya untuk tetap selalu bersamaku, mendampingiku sampai akhir hayat memisahkan kami. Sungguh, video yang hanya berdurasi 2 menit ini mampu menjadi semangat dan motivasiku untuk berjuang lebih keras mengikuti arah takdirku.
“ Ayah … terimakasih, aku tidak menyangka ayah bisa membuat video seindah ini “ kataku lirih.
Dengan kalimat-kalimat yang akan selalu aku jadikan motivasi dan semangat hidupku, yang kan selalu aku ingat seumur hidupku, insyaAllah.
Selamat Ulang Tahun Istriku …
Semoga selalu sehat …
Semoga diberi umur yang panjang dan barokah …
Semoga diberi umur yang manfaat untuk aku dan anak-anak kita , keluarga dan umat …
Semoga selalu semangat …
Kita titih kehidupan ini bersama-sama sampai tua nanti …
Untuk menghantarkan buah hati kita hingga menjadi manusia dewasa, mapan dan bermanfaat untuk sesame ...
Yakinlah bahwa dengan segala keterbatasanku dan kekuranganku, aku kan selalu mendampingimu sampai akhir hayat kita …
Teruslah berjuang …
Teruslah semangat …
Untuk kami semua ….

Trimakasih suamiku, syukur aku haturkan padaMU ya Rabb, telah engkau kirimkan seorang bak malaikat kepadaku, yang selalu membimbingku, menjadi imamku, menjadi sahabatku, inspirasiku,  sumber semangatku, motivator hidupku. Terimakasih ya Allah untuk seorang lelaki yang dari tulang rusuknya Engkau ciptakan diriku, yang siap terus akan menemaniku dalam keadaan apapun diriku. Kabulkan doanya, kuatkan hatinya untuk amanah memegang janji dan keinginannya hari ini sampai kapanpun, menitih hidup bersamaku, membimbingku dalam segala keadaanku.
Kini, kabut kegamangan itu mulai tersingkap. Dengan janji suamiku yang akan selalu berada disisiku, aku yakin aku akan mampu hadapi sesulit apapun ujian hidup ini. Selama dia ada disisiku kan aku abaikan sedihku, kan ku ciptakan bahagia bersamanya, bersama kami semua. Aku yakin dan semakin yakin aku bisa dan akan mampu bertahan dengan dukungan anak-anak dan suami disisiku.
Kami sepakat, bahwa keadaan sakitku ini biarlah hanya kami dan keluarga dekat kami saja yang tahu. Aku tidak menginginkan teman-teman,  kerabat, atau masyarakat disekitar kami mengetahui tentang sakitku ini.  Aku tidak ingin dipandang lemah karena sakit yang aku tanggungkan ini. Aku tetap mau masih dapat berbuat banyak dan mendapat banyak kesempatan untuk banyak berbuat yang bermanfaat untuk umat,  selagi aku masih mampu. Dan aku bersyukur, hingga detik ini aku masih dapat melakukan pekerjaanku, mengikuti aktifitas sosialku, organisasiku, meskipun dengan kondisi tubuh yang kadang tak tertahankan karena sakitnya, namun tetap aku coba paksakan sebatas kemampuanku untuk bertahan.

Bersambung ...

Butterfly 4


HADIAH ULTAH 

       Pada suatu hari, keadaaku tiba-tiba drop dan pingsan, sekujur tubuhku dingin bagai tidak ada aliran darah dalam nadi-nadiku, tidak ada daya lagi, aku ambruk. Saat itu aku sudah berfikir, akankah ini akhir hidupku ? Untung kejadiannya pada saat kami sedang berkumpul di rumah, suamiku segera melarikanku ke rumah sakit, dan dokter menyarankan aku untuk dirawat inap beberapa hari sampai kondisiku pulih kembali.  
Hari – hariku di rumah sakit terasa berlalu begitu lambatnya, sampai akupun lupa hitungan tanggal berapa dan  hari apakah hari itu ? 
“Ayah … ini tanggal berapa ya ? 
tanyaku pada suamiku, yang sedang berbaring di kursi sofa kamar Anggrek 407 di rumah sakit tempat aku dirawat. Dia terlihat sangat kelelahan karena seharian harus bekerja dan malam harinya masih harus sering terjaga karena menghawatirkan keadaanku. Aku benar-benar sudah tidak mengingat  tanggal dan hari sejak beberapa hari lalu. 
“ Tanggal 2 Oktober dik ... memangnya kenapa  ? jawab suamiku datar. 
“ Tidak ada apa-apa … berarti tinggal beberapa hari lagi ya … ? jawabku yang tiba-tiba teringat hari ulang tahunku tinggal beberapa hari lagi.
     Sudah menjadi kebiasaan suamiku tidak pernah ingat hari ulang tahunku, aku selalu harus mengingatkannya jauh-jauh hari sebelum hari ultahku. Tapi segera dia sadar arah pertanyaanku 
“ oh iya … hampir lupa, hari ulang tahun adek kan … jangan hawatir pasti nanti ada hadiah istimewa untuk istriku tercinta “ Jawab suamiku setengah merayu seakan ingin menghapus sedikit rasa bersalahnya telah melupakan hari ultahku yang tinggal beberapa hari lagi. 
Sejak kami menikah kami selalu berusaha melakukan hal istimewa pada setiap hari ulang tahun masing-masing, selalu ada hadiah walau hanya sekedar seuntai bunga atau ucapan sebagai tanda kasih sayang kami. Bagi kami berdua setahun sekali mengistimewakan pasangan menjadi suatu keharusan untuk memupuk kasih sayang diantara kami dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.
Tapi kali ini, tidak ada sesuatupun hadiah istimewa yang kuharap dari suamiku, motivasi yang terus menerus diberikannya padaku dalam menghadapi ujian sakitku ini sudah cukup menjadi hadiah terindah dari suamiku. Meskipun suamiku adalah orang yang tidak mudah mengungkapkan kata hatinya karena dia termasuk type lelaki yang jauh dari kata “romantis”, tapi dari perhatiannya ku tahu dia sangat sedih melihat kondisiku, dia sangat ingin mencurahkan semua perhatiannya untukku. 
“ Tidak ayah ,,, aku tidak ingin hadiah apapun, aku hanya ingin ayah membuat ungkapan perasaan ayah padaku pada saat ini , pada saat aku diuji dengan sakitku ini, karena aku sudah banyak merepotkan dan menyusahkan ayah bahkan mungkin disepanjang hidupku bersama ayah  …” ujarku sedih kepada suamiku.
 “Wah … aku malah tidak bisa membuat yang seperti itu dik, ungkapan hati yang bagaimana … minta yang lain saja ya … sepatu, jam tangan, tas atau apalah … jangan yang seperti itu, aku ndak bisa “ jawab suamiku setengah menghibah, yang membuatku justru malah ingin menggodanya
 “ tidak … aku hanya minta coretan satu atau dua kalimat ungkapan kata hati ayah padaku saja … pokoknya aku tungguh ya tanggal 7 oktober … masih ada waktu 5 hari loh  … “ godaku sambil menahan tawaku melihat suamiku kebingungan. 
  Meskipun munkin bagi suamiku permintaanku itu dianggap mengada-ada dan berlebihan, tapi bagiku ungakapan kecil kata hati  suamiku tentang diriku dan kami, akan sangat berharga dalam kondisiku yang sekarang ini, dengannya ku ingin mengukur seberapa besar arti diriku baginya, seberapa besar kesabarannya kelak mendampingiku dengan Lupus bersamaku, dan akan aku  jadikan sebagai “deklarasi” janji suamiku untukku. 
     Hari-hari di rumah sakit terasa sangat lama sekali, dari detik ke detik, menit, jam rasanya berjalan sangat lambat, pada hari ketiga di Rumah sakit aku sudah mulai jenuh, rindu yang teramat sangat pada putri kecilku Adibah serasa sudah tidak tertahankan, hampir selalu membuatku menangis jika mengingatnya. Terbayang bagaimana andai aku tidak dapat menemani anak-anakku  selamanya ? 
“ ah … tidak “  segera kutepiskan bayangan suram itu, ku yakinkan dalam hatiku “ aku pasti bisa melewati ini semua, aku pasti bisa sembuh …” kata hatiku menguatkan semangatku seraya kuhapus airmata yang tak terasa sudah jatuh membasahi pipiku. 
       Ingatanku akan bungsuku yang masih sangat membutuhkanku,  menguatkanku untuk mengikuti proses pengobatan ini dengan sebaik-baiknya, tidak kuabaikan sedikitpun nasehat dokter, aku harus banyak beristirahat baik fisik maupun pikiranku. 
     Namun, ternyata itu tidak mudah, hampir setiap siang atau malam hari  aku justru malah tidak bisa tidur, aku tidak mampu membohongi hatiku bahwa aku sedih, aku takut dengan sakit yang aku derita ini. Belum lagi  badanku yang masih merasa lemas, persendian dan tulang belulangku yang rasanya sakit menusuk tak tertahankan dan kepalaku yang masih terasa berat. Sungguh keadaan ini membuat hatiku kian sedih. 
“ Yaa Allah … berikan aku kesabaran, kekuatan, kesembuhan dan umur panjang yang manfaat dan barokah tidak menjadi beban keluargaku …” doa yang selalu aku ucapkan setiap saat dalam hatiku. 
     Kucoba tahankan untuk tidak mengeluh, aku kasihan  pada ibu dan suamiku yang telah lelah dan sabar mendampingiku selama di rumah sakit, kubiarkan mereka tidak  tahu tentang rasa sakitku, aku tidak ingin mereka bertambah sedih dengan keadaanku, biarlah aku rasakan sendiri sebagai bagian dari ujian Allah SWT untukku.
   Kondisiku yang demikian ternyata berpengaruh pada tekanan darahku yang sangat tidak stabil, tiba-tiba turun dan naik secara drastis. Aku semakin sedih sebenarnya apa yang sedang tejadi dengan diriku ? Meskipun demikian aku tidak pernah mencoba diskusikan perihal penyakitku dengan ibu atau suamiku, dihadapan mereka kutampakkan seakan aku baik-baik saja,  biarlah mereka tetap mengganggap bahwa aku sudah baik, dan akan segera sembuh. Aku ingin membangun harapan yang besar pada mereka bahwa aku baik-baik saja dan akan segera sembuh kembali.
    Malam-malam berikutnya kondisiku semakin membaik, meskipun pusing di kepala dan nyeri dadaku masih belum tuntas penuh,  namun aku sudah mulai dapat menikmati tidur malamku walau tidak terlalu jenak. Hari berikutnya, dokter memerintahkan perawat untuk cek kondisi jantungku  karena keluhan rasa nyeri dada bagian kiriku dan detak jantungku yang melemah kata perawat yang memeriksaku hampir setiap 4 jam sekali dalam seharinya. Aku semakin sedih, tapi tetap saja  aku coba rahasiakan kesedihanku pada suami dan ibuku. Ku ingin mereka tidak putus harapan karena darinya ku butuhkan sandaran, karena darinya kubutuhkan kekuatan pada saat aku lemah, karena mereka sumber semangat pada saat aku kehilangan semangatku. 
Selama di rumah sakit suamiku tidak bisa menjagaku setiap saat, pada siang hari dia tetap harus pergi ke kantor untuk bekerja,  sehingga yang berkomunikasi dengan dokter hanya diriku sendiri, sementara ibuku yang sudah sepuh  rasanya tidak tega aku bebani menanggung tanggung  jawab memahami penjelasan dokter yang kadang menggunakan bahasa medis yang sulit beliau fahami, sehingga dengan keadaan demikian hampir setiap visitasi, dokter hanya berdiskusi langsung denganku terkait dengan perkembangan medis penyakitku,  dan itu baik untukku sehingga aku selalu bisa rahasiakan kondisi diriku yang sebenarnya pada suamiku. 
       

Bersambung

Butterfly 3


       Untuk beberapa  minggu   pertama, obat dokter membuatku  terlelap hampir sepanjang hari, sama sekali ku tak mampu berfikir tentang sesuatupun,  apalagi  melakukan apapun. Kuhabiskan waktuku hanya dengan tidur saja. Mungkin itu bagian dari terapi yang harus aku lalui karena sebelumnya penderitaan dari penyakit ini sungguh sangat menyiksa; insomnia, pusing kepala yang tiada henti, sakit disekujur tubuh dan persendianku serta diare yang terus menerus.
       Namun, setelah terapi obat selama beberapa minggu itu keadaanku menjadi lebih baik, terutama aku sudah tidak diare lagi. Meskipun, keluhan yang lain tidak lantas sirna begitu saja.  masih sakit nyeri hampir di sekujur tubuhku, ngilu dipersendianku, serta pusing kepalaku. Meskipun demikian, keadaan itu coba tidak  aku bagi dengan orang-orang terkasih suami, anak-anak, serta orang tuaku. Aku tidak ingin mereka menjadi sedih karena  tahu penderitaanku, aku tidak ingin mereka ikut merasakan nyeriku, biarlah kunikmati karunia indah ini sendiri bersamaNya kekasih abadi tempat curahan hatiku Allah Sang Maha Kasih. Hanya kepadaNya lah aku mengeluh, hanya kepadaNya lah kucurahkan rasa sakitku, hanya kepadaNya lah aku tumpahkan seluruh air mataku, biarlah cobaan ini hanya untukku.
       Memasuki minggu kedua, aku sudah mulai terfikir tentang bagaimana dengan pekerjaanku, bagaimana aku melakukan pekerjaan rumahku, bagaimana aku harus mengantar sekolah anakku, bagaimana aku  harus pergi ke kantorku ? larangan terpapar cahaya matahari memaksaku untuk mengambil keputusan aku harus mengubah gaya penampilanku. Aku jelas tidak berharap pergi kemana-mana membawa payung, seperti tukang kredit keliling. Lalu bagaimana aku harus melindungi tubuhku dari paparan cahaya matahari, padahal kerjaku harus aku lakukan pagi sampai sore hari ? Sempat aku browsing di internet mungkin ada gaya busana khusus untuk odapus  , tetapi ternyata tidak kutemukan. Kebanyakan mereka masih menggunakan gaya busana biasa dengan bermasker dan kaos tangan dan kaos kaki lengkap saat keluar rumah,  serta sunblock atau  payung sebagai pelindung utamanya.
       Tapi style yang seperti itu aku rasa  kurang menarik bagiku, karena selama ini aku termasuk orang yang sangat perhatian terhadap gaya busana bahkan kadang  sering menjadi rujukan gaya busana teman-temanku dan tidak jarang kemudian menjadi tren di lingkungan sekitarku. Setelah berdiskusi dengan suami dan keluargaku, mereka tidak keberatan aku mengambil keputusan mengganti gaya busanaku dengan gaya busana muslimah bercadar lengkap dengan kaos kaki dan handset untuk meminimalisir paparan matahari ke kulitku.
Orang tua dan suamiku justru sangat mendukung, bahkan beliau bilang akan merasa bangga istrinya bisa bergaya syar’I seperti itu, namun dia mensyaratkan cadar atau burkah dipakai saat di luar ruangan saja, ketika masuk atau berada dalam ruang dan mengajar cadarku harus aku lepaskan, tentunya syarat itu sangat tidak masalah bagiku.
Aku mulai memesan beberapa baju secara online, aku coba memakainya dan aku bersyukur ternyata aku lebih merasa  nyaman dengan busana model baruku ini. Putriku mengirimkan beberapa burkah dan cadar yang dia beli dari uang sakunya, putriku sangat support dan mendukung gaya berbusanaku, dia katakan ibundanya lebih keren dengan gaya busana ala syari seperti itu, dia selalu katakan “Allah telah memberikan karunia indah pada ibuku “ ujarnya mencoba memberi semangat kepadaku melalui whatsApp  pada suatu waktu.
        Seperti dugaanku, pada awal – awal aku tampil dengan penampilan baruku ini, banyak yang memandang sinis, dan bahkan  tidak mengenali diriku. Rasanya sedih juga, ketika orang-orang dekat yang aku kenal tiba-tiba enggan menyapaku. Belum lagi dengan siswa-siswaku yang selalu bertanya “Mengapa ibu guru berbusana demikian ?, tapi biarlah aku tidak perlu menjelaskan pada mereka,  akhirnya toh mereka juga akan terbiasa dengan gayaku.
       Bersyukur kepala sekolahku bisa memahami keadaanku, dan memberikan ruang khusus untukku mengajar, yaitu ruang multimedia dimana siswa yang akan mendatangi kelasku untuk belajar, sehingga aku tidak perlu naik ke lantai 2 mendatangi kelas-kelasku, karena  kondisi fisikku memang belum siap untuk beraktifitas sebagaimana biasa.
Kepalaku masih sering terasa pusing dan berat, kurasakan keseimbangan tubuhku masih belum normal, masih sering terasa pandangaku berputar dan tubuhku sempoyongan. Tapi aku tidak bisa meninggalkan tugasku terlalu lama, karena kasihan pada siswa-siswiku jika mereka harus ketinggalan pelajaran karena kondisi sakitku. Aku hanya berharap dengan terapi yang akan kujalani ini, aku bisa menjadi lebih baik dan terus lebih baik sehingga  dapat kembali beraktivitas sebagaimana biasanya.
       Sungguh dalam keadaan demikian,  aku hanya bisa ucapkan syukur dan syukur kepada Sang Penguasa Alam Allahu Robbi, aku merasakan kasih sayang Allah yang teramat besar telah dicurahkan kepadaku. Allah SWT telah betul-betul menjadikanku takluk tanpa daya dihadapan kekuasaanNya. Aku yang selama ini telah  sombong merasa dapat melakukan banyak hal, dapat mensiasati setiap keadaan yang terjadi padaku karena kemampuanku dan kecerdasanku, merencanakan dengan sempurna masa depanku, anak-anak dan keluargaku, sungguh kini aku tahu, aku sadar, aku malu, Allah telah menunjukkan keterbatasanku sebagai manusia yang fana, yang hanya mampu membuat rencana. Astaghfirullahal ‘adhim,  sungguh aku telah hilaf, aku telah salah, tidak ada sesuatupun yang dapat aku lakukan tanpa RidloNya, tiada sesuatupun terjadi tanpa kehendakNya, maka tiada pilihan lain bagiku sebagai manusia yang sangat fana ini kecuali ikhlas, dan bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakanNya kepadaku, hingga detik inipun aku masih dapat bernafas, aku masih dapat melihat hamparan ciptaanNya, masih merasakan aroma embun pagi disetiap terjaga dari tidur malam yang kadang terasa panjang, serta masih merasakan indahnya kehangatan berkumpul dengan orang-orang terkasih keluargaku.
        Pada titik terendah hidupku ini aku hanya mampu memohon dan  berserah diri kepadaNya. Berharap untuk diberikan kekuatan, kesabaran, kesembuhan dan umur panjang yang manfaat dan barokah atas RidhoNya.

Yaa Rabb …..
DihadapanMu aku tersimpuh….
Dalam KuasaMu yang tanpa batas itu ….
Dalam kerapuhan diriku di hadapanMu …
Kubersujud, menyerah, pasrah, dengan segenap rasa malu …
Karena  lama ku rasa diriku telah mampu menulis sendiri cerita hidupku …
Ku buat rencana seakan lebih indah dari skenario yang telah Kau tetapkan  bagiku
Ku tersimpuh …
Bagai sebutir debu …
Dengan segenap rasa malu aku mengaku …
Tak mampu ku tulis sesuatu untuk hidupku selain tulisan IndahMu …
Ku pasrahkan diri hanya akan mengikuti goresan takdirMu …
Kuyakin aku akan mampu …
Menjalani cerita hidupku ini dariMU …
Bersama ridloMu ...

Bersambung ....

Butterfly 2


“ Sabar dik, kita akan lalui ini bersama … jangan takut jangan sedih, kata dokter insyaallah akan bisa diatasi dengan terapi “ kata suamiku seakan ingin menghapus dukaku dengan menggenggam erat tanganku, sepertinya dia hendak menyalurkan energi dan semangatnya padaku. Namun tetap saja, tak mampu kutahankan airmataku yang terus deras mengalir. Seakan hilang semua harapanku, luruh semangatku, hampa anganku. Aku bagaikan  akan melangkah ke padang gersang yang penuh dengan duri yang sewaktu-waktu akan menyakitiku dan mengakhiri hidupku.
Vonis dokter tersebut benar-benar aku rasakan  telah melumpuhkan otot-ototku yang memang sudah lemah, memporak porandakan bayangan kehidupanku yang sudah aku rencanakan dengan cermat, itulah bukti kuasa Tuhan Yang Maha Berkehendak Allah SWT. Aku bingung apa yang harus aku lakukan, apa yang bisa aku perbuat ?
Sesaat setelah dokter menjelaskan penyakit yang aku derita dengan detail pada suamiku, aku terdiam seribu bahasa, hanya air mata yang tak kuasa aku tahankan meleleh begitu saja. Meskipun dokter hanya memberikan tiga larangan pokok dalam menghadapi penyakitku, yang beliau sebut dengan istilah “3K” yaitu larangan Kepanasan, Kelelahan, dan Kepikiran. Namun itu cukup membuatku sesaat kehilangan arah hidupku yang selama ini tentu sangat erat dengan ketiga hal tersebut, sebagaimana manusia normal lainnya. Bagaimana aku beraktifitas tanpa terpapar sinar matahari, bagaimana aku tidak boleh lelah, bagaimana aku tidak boleh banyak berfikir. aku memiliki tugas dan kegiatan yang harus aku lakukan setiap pagi hingga sore hari yang sangat terkait dengan ketiga larangan tersebut? Sesaat aku rasakan diriku seperti telah bermutasi menjadi makluk lain yang hidup di dunia lain.
Sungguh kuasaMu Maha tak tertandingi Yaa Rabbul Izzati, pasti skenario yang telah Engkau tulis indah untukku,   aku benar-benar tidak berdaya, pasrah,  menyerah, tak mampu membuat rencana, pun merangkai harapan apapun. Aku lunglai, suamiku terus saja bicara mencoba menguatkanku, terus berusaha menghiburku, memotivasiku diantara derai air mataku yang tak jua mau berhenti, meskipun sudah aku coba untuk menahan diri dan menerima semuanya sebagai bagian dari takdirku.
Akupun tahu suamiku pun hancur, raut mukanya tidak bisa menyembunyikan kesedihannya dalam polesan senyum yang dia coba buat untukku, tapi meskipun demikian aku bersyukur memiliki pendamping yang bisa menjagaku, mendampingiku dengan setia dalam setiap keadaanku. Semoga dia akan selalu ada disisiku sampai kapanpun dalam keadaan apapun diriku.
Satu kalimat yang tertuang dalam setiap alunan doaku adalah agar kami diberi kekuatan dan kesabaran menghadapi takdir indah dari sang Maha Kuasa yang telah dihadiahkan untukku.
Sedihku terasa telah sampai pada titik jenuhnya, hingga tak mampu lagi kurasakan kecuali kemudian selalu berusaha untuk berprasangka baik  bahwa ini adalah bentuk kasih sayang Allah SWT  kepadaku.  Kasih sayang Allah yang sangat besar sedang dicurahkan kepadaku, Allah inginkan aku menjadi orang yang super sabar, dan  bersih dari dosa pada akhir hidupku dengan rasa sakit yang akan terus aku coba tahankan dan sabarkan, serta kekuatan yang akan terus aku mohonkan. Kasih sayang Allah bersama Lupusku, kasih sayang Allah bersama pusing di kepalaku, bersama nyeri-nyeri tulangku, bersama kram otot yang setiap saat aku rasakan. Allah sungguh telah menunjukkan kasih dan cintaNya yang teramat besar padaku. Bersama setiap nyeriku terucap dzikir dan istighfar yang tak henti aku ucapkan, bersama pusing kepalaku kucoba alihkan dengan menikmati alunan ayat suci Al Qur’an dari HP ku, sungguh aku mulai melihat sakitku sebagai bentuk karunia indah yang telah mendekatkanku selalu padaNya.
Lupus sang kupu-kupu cantik jangan ditaklukkan, demikian dari banyak cerita teman dan litaratur yang sudah aku baca, tapi cobalah berdamai dengannya, karena dia akan selalu menemanimu selamanya. Mulailah mengenal karakternya, mulailah mengenal alarm kedatangannya, mulai mengenal apa yang bisa mengusiknya, dan mendamaikannya kembali. Berdamailah dengan tiga hal yang akan membuatmu melupakan sang kupu-kupu sedang ada bersamamu, tiga hal yang sederhana namun prinsip dalam kehidupan setiap makluk, yaitu hiduplah dengan bahagia, jangan lagi bekerja keras, dan mulai belajar pola hidup “vampire”  menghindari paparan sinar matahari atau kamu akan terbakar oleh sinarnya yang menyakitkan.
“Mulai saat ini aku akan bersahabat dengan sang kupu-kupu manis si luppy …” janjiku dalam hati.

Bersambung ....

Butterfly - 1

KARUNIA “INDAH” DARI TUHAN

Oleh : Ummu Syafirah

Hari itu adalah hari yang bersejarah dalam hidupku karena pada hari itulah Allah SWT telah tampakkan tulisan  takdirku, pada hari itu telah terjadi deklarasi perubahan kehidupanku, identitasku sebagai manusia dengan pola kehidupan normal segera berakhir. Aku bukan lagi manusia biasa, tetapi sejak hari itu aku adalah  manusia dengan takdir istimewa yang dipilih oleh Allah untuk menerima anugerahNya, anugerah menjadi seorang “Odapus” yaitu seorang penyandang lupus, Subhanallah. 
Anugerah  indah dari Allah SWT dengan gelar baru menjadi seorang Odapus pada awalnya tidaklah mudah aku terima, gelar istimewa  bak gelar seorang “ratu”, yang hanya dianugerahkan kepada orang-orang istimewa yang dipilihNya termasuk diriku, yang harus mendapat perlakuan istimewa, dengan tiga hal pokok yang telah ditetapkan untuk aku terima sebagai pembiasaan sepanjang hayatku dan demikianpun harus dapat diterima  keluarga dan orang-orang dekatku. Sejak saat itu diriku tidak lagi bebas keluar rumah maupun berada ditempat terbuka selama matahari masih bersinar terang menampakkan cahaya dan memancarkan sinarnya. Sejak saat itu, aku juga harus selalu bahagia, sungguh anugerah yang indah karena kebahagiaan adalah keinginan dasar semua umat manusia, stress menjadi pantangan utama bagiku yang tidak boleh terjadi padaku, dan sejak saat itu pula, secara fisik aku tidak boleh lelah, tidak boleh mengerjakan pekerjaan yang dapat membuatku semakin kehilangan dayaku.
Takdirku membawaku bagaikan seorang “Ratu” dalam istana yang megah dengan ratusan pelayan yang siap melayaniku setiap saat aku butuhkan dan dayang-dayang yang dapat menghibur diriku setiap waktu. Atau, diriku menjadi bagaikan “Batu Pualam” yang harus disimpan dalam bejana  kaca nan indah, yang hanya bisa disentuh dengan setuhan lembut kasih sayang, dan dijaga selalu dengan sepenuh kasih karena nilainya yang tak ternilai. 
Tapi, siapa yang akan dapat melayaniku bak seorang “ratu” ? siapa yang dapat menjagaku bagaikan “batu pualam” dalam bejana kaca itu ? 
Aku hanyalah wanita biasa, yang setiap pagi harus bangun lebih awal menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan suamiku, mencuci dan membersihkan rumah sebelum berangkat ke tempat kerja. Aku hanyalah wanita biasa yang harus pergi ke pasar, mengantar anak sekolah, mengajar mengaji anak-anak sekitar kampungku, dan masih banyak aktifitas yang sehari-hari harus aku lakukan. Aku bukanlah “ratu” atau wanita kaya “sosialita” yang serba berkecukupan dengan mobil pribadi dan sopir yang siap mengantar kesana kemari sehingga tidak perlu bertatap pandang dengan mentari. Aku hanyalah wanita kampung biasa, yang hari-hariku bersahabat dengan matahari, berteman dengan letih, dan kadang berselimutkan duka dan kesedihan. Bagaimana aku harus jalani hidupku setelah detik ini ? batinku menangis saat itu.  
Tentu dengan kondisiku yang seperti itu,  aku hanya mampu berharap  orang-orang terkasihku, suamiku dan anak-anakku dapat memahami kondisi istimewaku, dan siap mendampingiku melewati hari-hari yang tentu tidak akan mudah bagiku dan juga keluarga terdekatku. Namun, sampai kapan mereka akan kuat dan sabar mengayuh derita bersamaku, bersama lupus yang selalu akan menemaniku ? 
Sudah lama sebenarnya aku mendengar penyakit aneh ini, yang aku tahu dia juga memiliki  julukan aneh sebagai “penyakit seribu wajah” karena gejalanya yang dapat menyerupai gejala berbagai macam penyakit, dia juga sering dijuluki  dengan  butterfly atau kupu-kupu cantik karena satu-satunya gejala spesifik yang nampak secara fisik adalah timbulnya ruam merah di pipi dan hidung yang menyerupai kupu-kupu,  yang sekarang justru menjadi gaya atau trend berdandan remaja masa kini.
 Takdir yang kemudian menjadikanku tertarik dan respek dengan penyakit kupu-kupu ini sebelum aku sendiri divonis mengidapnya. Ketika di rumah sakit atau dimana saja aku berjumpa dengan seseorang yang bercerita mengidap penyakit ini, maka aku segera “kepo” mencercah dengan banyak pertanyaan tentang bagaimana awal kejadiannya, bagaiamana rasanya, sampai apa yang sudah mereka lakukan sebagai upaya untuk sembuh ? dan seperti julukan penyakit lupus ini  sebagai penyakit seribu wajah benar adanya, karena mereka memiliki cerita yang berbeda satu dengan yang lainnya, masing – masing  memiliki cerita tentang gejala dan apa yang dirasakan  berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun pada umumnya mereka sama-sama memiliki gejala munculnya “humairoh” atau ruam merah dikedua pipinya seperti  julukan yang diberikan  Rosulullah SAW kepada  Aisyah ra sang istri tercinta.
Pada umumnya para odapus termasuk diriku didiagnosis penyakit ini setelah melewati masa bertahun-tahun berobat untuk sebuah penyakit yang tidak jelas diagnosisnya tetapi nyata kami rasakan. Tidak sedikit  yang kemudian diantara kami  menyerah dan terpaksa meyakini bahwa sakit yang dideritanya adalah sakit karena guna-guna dan sebab magis lainnya, karena secara fisik gejala yang dirasakan oleh penderita tidak didukung oleh data medis, dengan tidak ditemukan dalam hasil tes positif yang dilakukan oleh dokter yang dapat mendukung ditegaknya diagnosis terhadap suatu penyakit tertentu. Atau, kalaupun dokter sudah mendiagnosis mengidap penyakit tertentu tetapi tidak berujung pada kesembuhan setelah bertahun-tahun dilakukan pengobatan tapi malah justru semakin bertambah parah, seperti halnya diriku yang hampir tujuh tahun dalam perawatan sakit lambungku, dan tidak juga sembuh. 
Lupus sang kupu-kupu cantik bisa muncul menyerupai gejala sakit apa saja, seperti lambung, ginjal, jantung, paru-paru, gatal-gatal yang tidak berkesudahan, kulit bersisik, luka yang tidak sembuh sampai bertahun-tahun dan lain sebagainya, sesuai dengan julukannya penyakit “ seribu wajah”. Dengan kondisi demikian banyak diantara mereka sebelum terdeteksi terkena lupus  sudah prustasi, tidak hanya karena sakitnya, melainkan yang lebih berat dari itu adalah kepercayaan keluarga terhadap dirinya yang semakin  terkikis sedikit demi sedikit dan menganggap mereka hanya mencari perhatian dan manja saja, sehingga banyak diantara mereka yang kemudian tidak melanjutkan pemeriksaan dan lebih percaya kepada pengobatan alternative yang tidak rasional seperti dukun. Ataupun ketika mereka masih ada yang memiliki  kekuatan untuk berikhtiar kadang keadaanpun sudah terlambat ketika  terdiagnosis Lupus. Lupus sudah menyerang organ-organ vitalnya sehingga sebagian organ dalam tubuh sudah mengalami kerusakan. 
Bersyukur bagi yang kemudian Allah segera menunjukkan jalannya, sehingga sebelum benar-benar terlambat lupus segera terdeteksi di dalam dirinya, sehingga bisa mendapatkan penanganan medis yang lebih cepat, sehingga dengan demikian harapan akan pulih  kembali atau  “sembuh”  dan hidup selayaknya orang normal lainnya dengan tidak lagi menkonsumsi obat ( remisi ) akan semakin besar, seperti halnya diriku. 
Aku tidak sengaja dipertemukan Allah dengan dokter Heri Eko Subiyanto, dokter spesialis dalam yang menemukan lupus ada dalam diriku. Karena hampir tujuh tahun aku menjadi pasien dokter penyakit dalam yang lain di rumah sakit yang sama untuk perawatan lambungku tetapi tidak juga sembuh, dan belakangan justru semakin parah. 
Pada saat aku benar-benar merasakan sakit lambungku sudah tidak dapat aku tahankan karena sudah hampir satu bulan tidak dapat mengkonsumsi makan apapun selain kentang dan bubur. Sudah terbersit niat untuk melakukan second opinion ke dokter yang lain, namun aku ragu dan mengurungkan niatku. Akhirnya pada hari itu aku tetapkan akan periksa kembali ke dokter penyakit dalam yang selama ini sudah menanganiku. Namun kuasa Allah, hari itu dokterku berhalangan hadir karena suatu urusan, sehingga karena sakit yang aku rasakan aku mengambil keputusan tetap periksa ke dokter penyakit dalam yang ada pada hari itu, yaitu dr. Heri Eko S. yang kemudian membawaku ke lupusku ini. Penyakit yang belum ditemukan sebab dan cara pengobatannya, ini adalah “hadiah indah” dari sang Khalik untukku yang akan bersamaku selama hidupku.
Waktu itu hari sabtu, bersyukur suamiku mau menemaniku menemui  dokter,  tidak seperti biasanya setiap mengantar aku ke dokter dia  lebih suka memilih tiduran saja di dalam mobil sambil dengarkan musik untuk menghilangkan kejenuhannya. Bersyukur pada hari itu suamiku setia menemaniku, sampai tibalah giliranku masuk ke ruang konsultasi dokter. Bersama suamiku aku segera masuk ruang dr Heri Eko yang menerima kami dengan sangat ramah,  beberapa hal ditanyakan dokter untuk menegakkan diagnosanya termasuk sejak kapan mulai sakit, apa yang aku rasakan, dan banyak lagi. Aku ceritakan semua tentang perutku yang tidak bisa masuk makanan apapun, tangan-tangan dan kaki-kakiku yang mulai kebas dan kesemutan, kepalaku yang selalu tegang spt terserang vertigo, dan sakit tidak terkira, badanku yang selalu panas dan sering tiba-tiba meras lemas, bahkan berkali-kali mendadak pingsan. Sementara itu, dengan seksama dokter hanya mendengar celotehanku dan memandang tajam mukaku, seakan beliau menemukan sesuatu yang aneh di mukaku. 
Dan benar saja, dokter meminta suamiku mendekat dan memperhatikan mukaku, dia menanyakan beberapa bagian mukaku yang katanya berwarna kemerahan di bagian pipi dan hidungku, dokter juga meminta suamiku membandingkan warna kulit di pipiku dengan warna kulit disisi yang lain, aku tidak faham apa maksud dokter melihat warna mukaku ? apa hubungan dengan sakit lambungku ?. Selanjutnya dokter memintaku membuka mulut dan memeriksa mulut dan lidahku yang memang sudah hampir satu bulan ini terasa sangat keluh dan hampir selalu berasa pahit. 
Sayangnya, selesai pemeriksaan  dokter tidak menjelaskan apapun pada kami  tentang dugaan penyakit yang aku derita. Dokter hanya meminta aku untuk tes darah ke Surabaya dengan menyodorkan surat pengantar pemeriksaan laboratorium. Dan meminta kami datang seminggu kemudian dengan membawa hasil tes laboratorium yang disarankan tersebut. Pulang dari Rumah Sakit tak henti aku ucapkan doa dan harapan dalam hati  semoga tidak ada sakit serius yang aku derita, meskipun pikiranku mulai kalit takut diagnosis yang disembunyikan dokter mengarah ke lupus yang selama ini aku tahu memiliki satu tanda adanya ruam merah di pipi dan hidung menyerupai  kupu-kupu. 
Hingga tibalah sudah hari Rabu seminggu kemudian, dimana aku harus kembali menemui dokter dan menyerahkan hasil tes darahku yang sudah keluar, sesuai dengan perjanjianku dengan dokter Heri Eko S. untuk mendapatkan diagnosis sakitku. Dengan membawa hasil laboratorium yang sama sekali aku tidak fahami dan mengerti apa isinya meskipun sudah aku buka dan aku baca terlebih dahulu berulang-ulang. 
Aku segera menemui dokter sesuai dengan nomor urutanku, dokter menjelaskan sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang disebutkan dalam laporan hasil tes yang disebut “Ana Test” itu. Hasil tes yang berupa secarik kertas yang berisi  deretan panjang penjelasan dalam bahasa inggris dan medis yang sama sekali aku tidak fahami. Dari hasil ana test tersebut dokter mendiagnosis aku positif terkena autoimun atau yang oleh orang awam sering disebut dengan Lupus. Selanjutnya dokter menyarankan aku  untuk menginap di rumah sakit beberapa hari untuk terapi awal dan mengadakan tes darah lanjutan, yang kemudian mengarahkan aku ke  SLE ( Systemic Lupus Erythematosus) atau sering disebut  dengan “Lupus” saja.
Saat mendengar diagnosis dokter pertama kali tentang penyakitku, aku langsung tertunduk, tak terasa bulir air mata telah deras mengalir tak terbendung di pipiku, tidak lagi aku dengar dokter berkata apa untuk coba menghiburku, yang kurasa hanyalah kesedihan yang tak terukur setelah aku di vonis oleh dokter menderita penyakit yang selama ini aku takutkan yaitu Lupus sang kupu-kupu itu. 
Dokter selanjutnya memanggil suamiku untuk memberikan penjelasan yang lebih detail terkait dengan penyakitku, dokter menyatakan yang aku derita sebenarnya bukan penyakit seperti pada umumnya yang di sebabkan oleh bakteri, virus dan lainnya, namun penyakit yang aku derita saat ini adalah karena telah terjadi kesalahan system imun dalam tubuhku sehingga antibody yang mestinya menjadi pelindung tubuhku justru menjadi semacan srigala yang sewaktu-waktu dapat merusak organ-organ dalam tubuhku sendiri, yang disebut dengan autoimun, yang secara medis belum ditemukan penyebab dan cara-cara penyembuhannya. Sungguh sangat tidak menduga akhirnya aku juga harus mengalami deritanya. 
Mau tidak mau aku harus terima takdirku, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau lupus  mulai sekarang resmi aku derita dan bersarang dalam tubuhku, dia dapat menyerangku  kapan saja karena system imun tubuhku yang sudah tidak lagi dapat mengenali organ-organ yang harus dilindungi, namun justru menjadi ancaman besar bagi tubuhku sendiri. Kini aku tidaklah seperti yang dulu, energik dan tidak pernah bisa diam, selalu ada saja aktifitas yang aku lakukan pada hari-hariku. Saat ini, aku tidak lagi memiliki daya, mudah lelah dan tidak dapat bekerja keras, ngilu hampir disekujur tubuh setiap saat, otot yang melemah dan mudah kram, kepala pusing yang berkepanjangan, sungguh “anugerah” yang harus aku terima dengan ikhlas dan sabar. Aku tidak menyangka, sakit lambung yang sudah aku derita hampir tujuh tahun, yang berkembang menjadi sakit kepala dan kadang sakit disekujur tubuhku ini,   merupakan gejala penyakit lupus yang divoniskan kepadaku pagi itu.

Bersambung